Posted in Stacy's curse

[STACY’S CURSES] Party on 13th February

Tamu yang tak diundang,

Tiba-tiba datang,

Berpesta semaunya,

Berpesta dengan caranya,

Mengapa aku?

Mengapa harus aku yang merasakan semuanya?

Atsuko POV

Aku membuka mataku dan mendapati mentari telah bersinar bahagia. Cahayanya merasuk melalui ventilasi kamarku dan menerangi ruangan sebesar dua kali dua meter ini.

Cepat! Aku harus cepat!

Kupakai sepatuku dan berteriak ittekimasu seraya meninggalkan rumah. Aku segera melaju menuju stasiun Hikari untuk berangkat ke sekolah.

Oh, tidak! Aku lupa bekalku!

Ah! Tidak apa-apa, lah. Aku bisa beli sesuatu di kantin, nanti.

Pokoknya, aku tidak boleh telat hari ini. Hari ini, kan, hari Akane-chan akan membagi undangan pesta ulang tahunnya. Sebagai sahabatnya, aku harus datang lebih awal dari yang lain, dong, agar mendapat undangan yang pertama kali.

Aku sudah menyiapkan kado untuknya, juga baju untuk ke pesta ulang tahunnya besok—baju biru pastel yang baru aku beli di toko bermerek kemarin. Aku juga sudah membeli sepatu heels baru yang lagi ngetrend seperti milik Akane-chan, dan aku juga sudah menyiapkan pidato yang akan kubacakan.

Aku yakin akan banyak yang datang ke pestanya, Akane-chan kan populer.

Maka dari itu, sebagai sahabatnya, aku juga harus berdandan rapi supaya tidak mempermalukannya. Siapa tahu, aku bisa lebih dekat dengan teman-teman Akane-chan?

Ah, aku benar-benar tidak sabar menunggu hari esok!

Aku naik ke dalam kereta cepat yang baru saja sampai di gerbong stasiun. Kereta pun berangkat menuju ke stasiun selanjutnya—stasiun terdekat dengan sekolahku.

Akane POV

Aku berdiri menunggu kereta yang biasa kunaiki untuk pergi ke sekolah.

Hari ini tanggal 12 Februari, ternyata sudah genap 2 bulan sejak aku pura-pura bersahabat dengan Atsuko-san karena aku kalah taruhan dengan sahabat-sahabatku—yang sesungguhnya.

Namun, ada untungnya pula, Atsuko-san bisa kuperalat sebagai pesuruhku. Mulai dari membelikanku makanan di kantin, sampai mengerjakan Prku.

Atsuko juga mudah dikelabuhi. Jika ia mulai memprotes, aku tinggal menggunakan kata “sahabat” dan ia pun langsung menerimanya begitu saja.

Dasar, kutu buku bodoh.

Karena aku harus bersahabat dengannya selama dua bulan, kepopuleranku menyurut. Tapi tidak apa, lah. Aku yakin, setelah aku mengumumkan pada seisi sekolah saat ulang tahunku besok kalau sebenarnya berteman dengan Atsuko hanya berupa dare dari sahabat-sahabatku, mereka pasti akan kembali padaku.

Aku kan, Ichimatsu Akane, siapa sih yang tidak mau berteman padaku?

Kereta yang kunanti-nanti akhirnya datang. Aku segera melangkah masuk dan memilih tempat duduk. (Kereta yang kunaiki tiap harinya ini memang tidak seramai kereta lainnya karena harganya di atas rata-rata, sehingga seringkali masih banyak tempat duduk kosong di dalamnya.)

Aku membuka tas yang kubawa dan menghitung kembali kartu-kartu undangan yang kubawa untuk memastikan tak ada yang tertinggal.

Yep, semuanya sudah ada.

Aku sampai pada Sakura Women’s Highchool dan masuk ke dalam kelasku, 1-A. Kuletakkan tasku di tempat duduk dekat jendela dan mengambil undangan-undangan pesta ulang tahunku yang akan kuperingati besok pukul 5 sore.

“Yo, Aka-chan..” kata Mizuki saat aku sedang mengambil kartu undangan dari dalam tas.

“Sudah berapa kali kubilang Mizu-chan, jangan panggil aku Aka-chan mengerti?” omelku.

Dalam bahasa Jepang, Aka-chan berarti bayi, dan aku bukan bayi lagi!

“But you’re my baby!” godanya dengan aksen sok Inggris miliknya.

“Terserah kau saja, lah!” dengusku sambil memberikan undangannya.

“Uwa! Thank you Aka-chan.” katanya sambil mengamati undanganku yang bertemakan vintage. So classy, bon apetit!”

Bon apetit itu selamat makan, Mizu-chan. Gunakan bahasa Jepang saja, lah.” kataku sambil menepuk pelan pundaknya.

Mizuki adalah salah satu sahabatku yang sudah kukenal sejak kecil. Kami bertemu di Taman Kanak-Kanak dan semenjak itu, kami selalu bersama. Ia sangat tomboi dan lebih maskulin dari laki-laki. Lihat saja rambutnya, dipotong pendek seperti itu. Matanya yang kecil dan tajam pun mendukung perilaku maskulinnya. Dia juga merupakan atlit kick boxing yang sudah kondang di seluruh SMA, bahkan SMA laki-laki sekalipun.

“Kapan kau berubah jadi perempuan?” kataku sambil mencubit pelan pipinya.

“Besok kalau sudah dapat pacar.” sahutnya sambil menepis tanganku dari pipi tembamnya.

“Siapa yang mau dengan cewek tomboi sepertimu! Besok di pestaku kau harus pakai gaun! Aku sudah menyiapkannya untukmu, datang ke rumahku dulu, oke?” kataku sambil tersenyum jahil ke arahnya. “Aku mengundang beberapa cowok keren, lho. Kobayashi-senpai juga datang.”

Ia hanya membuang muka sambil mendengus, tapi aku tahu pasti itu artinya ia menerima penawaranku.

Mizuki memang tidak bisa menolak pesona Kobayashi senpai.

“Kalian sedang apa?” kata Suzune sambil melemparkan tasnya ke bangku di sebelah Mizuki.

Nah, yang itu namanya Suzune. Ia juga salah satu sahabatku, bedanya, kami bertemu di SMP. Suzune sangat feminim, ia begitu menyukai gaun-gaun cantik dan make up, oleh karena itu aku sering pergi berbelanja dengannya. Seleranya bagus. Wajahnya pun selalu tampil cantik, rambutnya cokelat panjang berponi dan selalu tersisir dengan rapi.

Aku begitu kagum padanya—walaupun sebenarnya aku merasa tidak kalah dengannya.

“Mizuchan tersipu karena aku mengundang Kobayashi-senpai.” godaku.

“Bukan begitu!” Mizuki menimpali sambil mendorong pelan bahuku.

“Aaa… Kau memerah!” Suzune memekik sambil mencubit pelan pipi Mizuki.

“Berhenti mencubit pipiku!” katanya sambil memegangi pipinya dengan kedua tangan.

“Tapi pipimu lucu sekali! Lihat ini Suzuchan.” kataku sambil menarik pipinya dengan kedua tangan.

“Sudahlah! Aku pergi, nih.” katanya sambil mencibir ke arahku.

Aku terkekeh, lalu menjawab, “jangan, bantu aku membagi ini.”

“Apa itu Achan?” tanya Suzune sambil mengintip penasaran ke dalam tasku.

“Oh iya! Undanganmu Suzuchan.” seruku sambil menyerahkan undangannya.

“Wahh! Terima kasih Achan!” katanya dengan penuh semangat sambil memelukku.

Oke, Suzune memang terkadang over acting tapi memang itu, lah keahliannya.

Tanpa membuang lebih lama lagi, aku segera menyebarkan undanganku pada anak-anak lainnya.

***

Atsuko POV

Aku sampai ke Sakura Woman’s highschool dan masuk ke X-A. Kulihat Akane sedang membagikan kartu undangan ke teman-teman di koridor sekolah.

Aku buru-buru lewat di depannya sebelum masuk ke kelas dan duduk di bangku sebelahnya.

Begitu ia memberiku undangan, aku akan langsung memeluknya!

Sepuluh menit berlalu, lima belas menit berlalu, bahkan bel pun sudah berdering tapi Akane belum juga memerikan undangan padaku.

Aku mencoba menarik perhatiannya mulai dari berbatuk-batuk ria sampai menjatuhkan barang-barangku ke lantai tanpa peduli barang itu akan rusak.

“Atsuko! Kau kenapa, sih?” Bukannya Akane-chan yang menanggapiku, malah guru yang sedang mengajar di depan yang menegur tingkahku.

“Orang aneh.” Aku dapat mendengar seseorang menyeletuk dari ujung kelas, tapi aku tidak yakin siapa yang berbicara.

“Maaf.” kataku sambil menunduk.

Waktu berjalan begitu saja, sampai jam istirahat pun, Akane-chan belum memberikan undanganku.

Kenapa ya Akane tidak memberikan undangan milikku? Jangan-jangan ia sengaja memberikan undangan terakhir padaku karena yang terakhir itu spesial!

Ya sudah, lah, akan kutunggu sampai pulang sekolah dengan sabar.

***

Akane POV

“Hah! Anak aneh itu kenapa, sih?” gerutu Mizuki saat kami keluar dari kelas untuk beristirahat.

“Udah, biarin aja lah, itu juga gara-gara kamu sama  Suzu-chan.” Cibirku..

“O iya, limit waktunya kan hari ini. Kenapa nggak kamu omongin langsung Akane-chan?” tanya Mizuki sambil berjalan ke hadapanku.

“Nanti aja. Aku mau umumin ke semua orang di sekolah, biar dia sadar diri sekalian!”

“Eh! Itu Tomomi-senpai, kasihin gih undangannya.” pekik Mizuki.

Tomomi adalah salah satu kakak kelas kami yang populernya benar-benar melebihi batas. Ia begitu cantik jelita, pandai, juga lahir di keluarga bangsawan. Setiap hari ia pasti mendapatkan hadiah dari cowok-cowok SMA sebelah, ia menjadi semacam maskot sekolah kami.

Dulunya kami akrab, tapi semenjak aku berteman dengan Atsuko, ia semakin menjaga jarak.

Ano.. Sumimasen Tomomi-nee, terima undangan ulang tahunku, onegai.” kataku sambil membungkukkan badan sesuai tradisi di Jepang.

“Hmm…, aku usahain dateng ya, kalo sempet.” kata Tomomi-nee sambil tersenyum merendahkan dan berbalik ke kumpulannya. “Kalau orang aneh itu tidak datang, sih.”

Mereka pun tertawa dan pergi melewati kami bertiga yang masih mematung di tempat.

“Ya ampun! Gara-gara cewek itu, bahkan Tomomi-nee malas untuk datang.” dengusku kesal sambil menendang loker di sampingku.

“Mungkin, kau perlu mengumumkan semua ini lebih cepat Akachan.” saran Mizuki.

Aku mengangguk sambil mencari ide.

***

Atsuko POV

Sekarang sudah pulang sekolah dan aku belum juga mendapat undangan dari Akane.

Malah, saat ini kelas sudah kosong dan Akane-chan mungkin sudah pulang.

Apa pun yang sudah kulakukan untuk mendapat perhatiannya tak berhasil, bahkan ia tidak melihat atau pun berbicara padaku. Mungkin dia hanya lupa akan undanganku karena terlalu banyak yang harus ia pikirkan. Tentu saja, merayakan ulang tahun secara besar-besaran seperti itu akan sangat memerlukan banyak biaya dan persiapan.

Yosh, aku akan meminta undangan itu langsung pada Akane, saja.

Aku menyahut tasku dan berjalan mengitari lorong sekolah untuk mencarinya. Ternyata, ia masih berada di kantin, sedang berbincang-bincang seru dengan Mizuki dan Suzume.

“Akane-chan!” panggilku sambil menghampirinya dengan antusias.

Ia tak menjawabku.

“Apa kau lupa sesuatu Akane-chan? Barangkali—“ “Lupa apa?” hardikny dengan nada tinggi.

“Mmm… Undangan. Untukku mana?” tanyaku dengan suara lemah karena ketakutan.

“Undangan untuk apa?” jawab Mizuki sengak.

“Undangan ke pesta ulang tahun Akane-chan.” kataku sedikit meninggikan suaraku pula karena kesal.

“Kau pikir dia akan mengundak orang aneh kaya kamu ke pesta ulang tahunnya yang spesial?” timpal Suzume sambil tersenyum sinis.

“Tentu saja! Dia kan sahabatku!” pekikku mulai emosi, menarik seluruh perhatian orang di dalam kantin ke arah kami.

“Hah!? Kamu pikir aku menganggapmu sahabat?” seru Akane sambil berdiri dan menyilangkan kedua tangannya dengan wajah memerah.

Apa? Dia tidak menganggapku sebagai sahabatnya? Lalu untuk apa selama ini ia bersikap baik dan bersahabat padaku!?

“Aku hanya menjalankan hukumanku karena kalah taruhan! Hukumannya adalah bersahabat selama dua bulan dengan orang aneh, yaitu kamu Atsuko!” seru Akane keras-keras sambil mendorongku hingga jatuh ke tanah yang becek dan mengotori rok sekolahku.

“T-tapi, kenapa kau begitu tega melakukannya!?” kataku menahan air mata.

“Asal kau tahu saja ya, itu adalah hukuman yang TERBURUK sepanjang hidupku! Karena pura-pura bersahabat denganmu, repurtasiku menurun! Mereka mengira aku ketularan aneh!” tambahnya lagi sambil menendang kakiku.

Sakit, rasanya sakit baik dalam hati maupun kakiku yang sepertinya akan berubah menjadi biru itu.

“Dan satu hal lagi. Setelah hari ini, kita bukan sahabat lagi, mengerti anak aneh?” tambahnya lagi, kali ini menyiramkan teh panas yang tadi sedang diminumnya ke tubuhku.

Aku tak dapat menahannya lagi, air mata terus mengalir di pipiku. Dan aliran itu tambah deras lagi saat ketiga orang tak berperasaan itu terus mempermalukanku di muka umum.

Tak ada satu pun orang yang perduli padaku, mereka semua mendukung Akane-chan.

Aku pun berusaha berdiri dari lumpur dan pergi dari kerumunan orang jahat itu. Namun, saat aku berlari menyusuri lapangan yang becek, seseorang melemparkan batu ke arahku dan membuatku terjatuh di lumpur.

“Hahaha… Nice throw! Kau memenangkan doorprize! Kau akan segera mendapatkan hadiah! Hahahahaha…” ledek seseorang dari kerumunan itu.

Aku langsung berdiri dan lari menuju stasiun Hikari untuk pulang.

Di stasiun maupun di dalam kereta aku menjadi pusat perhatian orang-orang.

Bagaimana tidak? Seluruh wajah, rok, maupun bajuku terkena lumpur dan menyebarkan aroma tak enak. Belum lagi, kaca mataku retak, sehingga aku perlu merentangkan kedua tangan saat berja agar tidak menabrak.

Mereka pasti mengiraku orang gila..

Begitu kereta berhenti, aku langsung berlari pulang tanpa memperdulikan hujan yang mengguyur tubuhku.  Akhirnya aku bisa sampai ke rumah.

Setelah kuucapkan ‘tadaima’ tanpa tenaga dan aku langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sakit, rasanya sakit sekali. Kenapa orang-orang begitu jahat, sih? Memangnya, apa salahku? Kenapa aku diperlakukan seperti babi kotor yang tidak diperlukan?

Diusir, dicemooh, dimaki.

Aku ingin membalas mereka! Tapi, bagaimana?

***

Mizuki POV

Matahari sudah angslup menghilang saat aku turun dari stasiun untuk berjalan menuju rumahku.

Entah kenapa, aku merasa hari ini jalan lebih sepi dari biasanya. Tak ada orang lewat, tak ada sepeda, tak ada mobil. Ke mana, sih semua orang?

Tap… Tap… Tap…

Aku dapat mendengar suara langkah kakiku bersahutan dengan suara jangkrik di kejauhan. Entah kenapa, suara langkahku sendiri membuatku merasa grogi.

Ser

Aku dapat merasakan seseorang mengintaiku dari belakang. Bulu-bulu halus di punggungku rasanya berdiri seiring dengan bertambahnya irama jantungku.

Siapa yang ada di belakangku?

Aku memilih untuk mengabaikannya saja dan terus berjalan sambil menggosok lemganku.

Aku harus bertingkah senatural mungkin. Kalau saja orang itu tiba-tiba menyerang, aku akan menyerangnya balik dengan tendangan terkuatku!

Yep, akan kupatahkan tulangnya kalah berani berurusan denganku.

Tiba-tiba mataku menangkap sekelebat siluet manusia yang masuk ke dalam gang sempit yang biasa kulewati saat pulang.

Sial! Apa itu tadi, untuk apa masuk ke jalan pulangku, sih?

Aku melangkah perlahan menuju gang tersebut sebelum membalikkan badan untuk mengecek orang yang mengikutiku.

Tak ada siapa pun.

Jangan-jangan bayangan tadi adalah orang yang mengikutiku? Kalau iya, awas saja!

“Jangan main-main denganku!” seruku sambil berjalan memasuki gang tersebut.

Sialnya, lampu dalam gang ini sedang berada dalam perbaikan, sehingga satu-satunya penerangan yang ada hanyalah lampu jalan yang terletak jauh di depan gang.

Tap… Tap…

Aku dapat mendengar langkahku menggema di seluruh gang.

Aku terus berjalan hingga mencapai bagian tengahnya, tapi kemudian aku menyadari sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri kembali.

Tap… Tap…

Aku dapat mendengar suara langkah mantap yang mengikutiku dari belakang saat aku berhenti di tengah-tengah gang.

Tap… Tap…

Suara itu terus menggema di seantero gang, berusaha menyusul langkahku yang saat ini sudah kupercepat.

Dengan cepat, aku masuk ke dalam gang di sebelah lampu jalan yang sebenarnya bukan rute menuju rumahku—mengantisipasi kalau saja orang itu sudah mengintaiku dan tahu di mana rumahku, sehingga bisa mengejarku kalau aku pulang.

Hari ini kan, rumahku kosong.

Sambil mengatur napas, aku segera mengintip ke arah lampu jalan yang sudah kulalui.

Tak ada siapa pun.

Mungkin, ini saatnya kabur?

Aku segera mengerahkan seluruh tenagaku untuk berlari pulang ke rumah. Aku tidak dapat mendengar ada orang lain yang mengikuti lagi—sepertinya aku kehilangan orang itu.

Syukurlah, aku bisa mencapai rumahku.

Kubuka pintu depan dan segera menguncinya kembali, lalu mengintip melalui lubang jendela.

Dapat kulihat, terdapat seorang gadis berbaju biru pastel seperti jaman kolonial Eropa sedang berdiri dalam gelap. Gaunnya tampak kusam, dan ia seperti membawa sebuah boneka perempuan bertopi di tangannya.

“Orang aneh.” gumamku sambil menutup kembali gorden jendela rumahku.

***

Akane POV

Lega rasanya sudah mengatakan semua kenyataan itu di muka umum.

Dengan begini, akan banyak yang menyanjungku dan pergi ke pesta ulang tahunku. Bahkan Tomomi-nee baru saja menghubungiku bahwa ia akan datang besok malam.

Besok pasti akan menjadi pesta yang meriah!

“Akane! Ayo makan dulu!” seru ibuku dari lantai bawah.

“Nggak usah, Ma, Akane udah makan tadi di sekolah.” seruku tanpa bergerak dari kasur.

“Ya sudah!” sambungnya. “Oh, iya! Tadi ada temanmu yang meninggalkan kado di depan pintu, sudah keletakkan di pinggir kasur.”

Aku langsung mengintip ke pinggir kasurku. Ternyata benar, di depan meja berbentuk beruangku terdapaf sebuah kotak kado yang dibungkus rapi dengan pita biru tua yang tampak indah. Di bagian atas pita tersebut, dipasang sebuah kartu ucapan.  Tanpa menunggu lebih lama, langsung kuraih kattu tersebut dan membacanya.

“Untuk Akane, jangan dibuka sebelum pembukaan kado saat pesta.”

Dari siapa ya, kira-kira? Jangan-jangan dari senpai yang kutaksir saat SMP? Kubuka sekarang saja?

Jangan, ah. Katanya harus dibuka besok, yasudah.

Dengan hati berbunga-bunga, kumasukan hadiah tersebut ke dalam closetku(lemari geser yang biasa digunakan di Jepang).

“Meong,” tiba-tiba terdengar suara meongan dari belakangku.

Kulihat, kuro—kucing persia hitam yang sudah kurawat sejak kecil—tengah duduk di atas kasur sambil menatapku dengan mata kuningnya.

Ia tampak begitu menggemaskan seperti biasanya!

Aku segera melompat ke atas kasur dan memeluknya dengan bahagia.

“Kau sudah makan, belum?” tanyaku sambil menatap kedua mata bulatnya.

“Meong,” seakan tahu apa yang kukatakan, ia berlari menuju meja belajarku dan naik ke atasnya.

“Baiklah, waktunya makan snack!” kataku sambil membuka laci meja belajar dan mengeluarkan snack kucing dari dalamnya.

Kuberikan beberapa potong padanya sebelum pergi mandi.

Seperti biasa, bathtubku telah terisi penuh dengan air hangat. Pasti ibuku yang melakukannya, dia benar-benar tahu seleraku.

Aku segera masuk ke dalamnya dan merendam tubuhku.

Berendam bisa membuat kulitku tampak bersinar besok.

Hiss….

Tiba-tiba aku mendengar Kuro mengerang—seperti melihat sesuatu yang dibencinya.

“K-Kuro?” panggilku takut-takut.

Tak ada suara apa pun yang terdengar.

“Kuro, ada apa?” tanyaku tanpa keluar dari dalam bak.

Perasaanku entah kenapa menjadi tidak enak. Aku segera mengenakan pakaian dan melompat keluar dari kamar mandi.

Kuro menghilang.

“Ibu! Apa kau tahu di mana Kuro?” tanyaku setengah berteriak pada ibuku yang masih berada di lantai satu.

“Bukannya tadi dia bersamamu?” jawabnya.

Aku hanya terdiam—masih dengan posisi kepala menongol keluar pintu.

BLAK

Tiba-tiba jendela kamarku menjeblak terbuka, membuat angin dingin masuk melaluinya dan mengumbulkan gordenku dengan liar.

Ini kan masih musim panas, kenapa anginnya dingin sekali?

Dengan perasaan bingung, aku berjalan menuju jendela tersebut untuk segera menutupnya. Tapi, ketika aku sudah melongok keluar untuk menarik jendela itu kembali, aku menjerit.

Kuro tergeletak di bawah sana, dipenuhi darah dan tak bernyawa.

Aku menjerit sambil menangis hingga tenggorokanku terasa sakit.

“Akane, ada apa?” Ibu dan ayahku berlomba menuju kamarku.

“Kuro!” kataku sambil menangis, tidak dapat melanjutkan.

“Kuro kenapa?” tanya ibuku sambil memelukku.

“Hitu, hendela!” kataku sambil terisak.

“Loh, siapa di sana!?” pekik ayahku saat ia menengok keluar jendela.

Tanpa menunggu lebih lama,  aku buru-buru melihat ke arah yang ayahku tunjuk.

Di sisi gelap jalan, beberapa meter di samping kuro, berdirilah seorang gadis yang mengenakan baju kolonial Eropa di tubuhnya.

“Dia pelakunya! Tangkap dia!” jeritku sambil menunjuk ke arahnya. “Mati saja, kau!”

“Sst… Akane, tenang.” Ibuku berusaha menenangkanku.

“Bisa saja dia cuma orang lewat.” sambung Ayahku.

“Nggak, dia pasti pelakunya!” kataku sambil menengok kembali ke arahnya, tapi ia sudah tidak ada di sana.

Dasar pengecut! Beraninya dia kabur setelah membunuh Kuro!

***

Suzune POV

Kumasukkan password apartemenku dan masuk ke dalamnya.

Aku tinggal sendiri di sebuah apartemen karena orang tuaku tinggal di luar kota. Sebenarnya, aku juga tidak ingin tinggal sendiri saat masih SMA, tapi aku terpaksa pindah ke sini untuk mendapatkan pendidikan yang lebih terjamin daripada di kampung halamanku.

Hidup sendiri benar-benar merepotkan.

Kutekan saklar lampu yang terletak di dinding sebelah kiriku namun lampunya tak mau menyala.

Benar juga, tadi pagi ada selebaran pengumuman akan ada pemadaman listrik di lantai empat.

Dasar apartemen tidak modal.

Dan di saat seperti ini, perutku memilih untuk meminta jatah. Dasar perut tidak tahu diri!

Akhirnya aku menyahut lilin dan korek lalu berjalan menuju kulkas untuk mencari kaleng kornet bekas kemarin.

Masih dingin.

Artinya, pemadaman baru saja terjadi, kenapa pas sekali?

Kucari-cari pembuka kalengnya di dalam lemari peralatan dapur. Namun, yang kudapatkan bukanlah pembuka kaleng melainkan sayatan dari pisau yang tak sengaja menyayat tanganku.

“Pisau sialan!” umpatku sambil berbalik dan mengulum jariku yang tersayat.

Kurogoh-rogoh laci dekat ranjang untuk mencari kotak P3K, tapi aku tidak dapat menemukannya.

Aah! Di mana aku meletakkan kotak itu?

Di saat-saat aku memerlukannya kotak itu malah menghilang secara misterius.

Ser

Tiba-tiba angin entah dari mana menerpa tubuhku yang sedang berada di depan lilin.

Blar

Jendela apartemenku tiba-tiba terbuka menyebabkan dinginnya angin malam menerpa masuk dan meniup mati satu-satunya peneranganku.

“Aaah! Ada apa sih, dengan hari ini!?” pekikku sebal sambil meraba-raba mencari korek api.

Alih-alih mendapatkan korek, aku malah menyentuh sesuatu yang dingin di atas meja.

“Minggirlah, kornet sial, aku perlu korekku.” kataku sambil menyalakkan kembali lilin yang kubawa.

Seketika itu juga, bau amis bercampur daging busuk menguar di seluruh apartemenku.

Apa ada tikus mati di sini?

Ke mana cleaning servicenya? Aku harus komplain.

Aku berjalan menuju ponselku yang kutinggalkan di atas ranjang.

Deg

Kulihat seorang gadis dengan baju kerajaan Eropa jaman dulu seperti yang pernah ditampilkan guru sejarahku tengah duduk di pinggir kasur. Ia mengenakan topeng bercorak seram—seperti topeng oni—yang membuatku memekik kaget.

Aku ingin berteriak, namun suaraku tak dapat keluar.

Alhasil, aku meraba-raba meja dapur di belakangku dan mencari sesuatu sebagai senjata.

Kornet.

“Makan nih kornet.” kataku sambil melemparkan kaleng kornet itu padanya.

Setelah terdengar bunyi klontang keras, aku menoleh.

Gadis itu menghilang tanpa meninggalkan jejak apa pun di sertai hilangnya bau busuk tadi.

Apa dia cuma mau kornetku?

***

“Kau tahu, kemarin aku diikuti orang aneh!” seru Mizuki saat aku dan Akane sudah berkumpul di meja paling belakang dekat jendela.

“Oh ya? Seperti apa?” tanya Akane sambil duduk di atas meja.

“Entahlah, ia mengenakan gaun biru pastel seperti bangsawan Eropa jaman dulu kala, so lame!” sambungnya sambil memperagakan orang muntah.

“Oh ya? Aku juga.” kataku dan Akane bersamaan.

“Benarkah? Apa dia juga memakai pita di rambutnya yang hitam kusam?” tanya Akane berusaha memastikan.

Aku mengangguk lalu menyambung, “Ia juga memakai topeng oni mengerikan!”

“Dan membawa boneka anak kecil yang tak kalah seramnya, hii…” kata Mizuki berusaha menakuti kami.

“Dia… Membunuh kuro.” Akane menyahut dengan nada dalam dan sedih.

“Benarkah!? Beraninya dia!” sahut Mizuki geram sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Kalau di tempatku, ia makan kornet.” kataku.

“Serius Suzuchan!? Kau memberi orang aneh itu kornet!?” pekik mereka berdua hampir bersamaan sambil menatapku tak percaya.

Aku menggeleng lalu menggigit bibir bawah. “Maksudnya, aku melemparinya kaleng kornet dan dia menghilang, whosh!”

Alis mereka bertautan.

“Tapi, aku juga mencium bau busuk! Seperti bau mayat yang menusuk hidung.” sambungku.

“Kemungkinan besar, pelakunya sama. Untuk apa ia meneror kita?” kata Akane sambil meletakkan tangannya di bawah bibir—pose berpikirnya.

“Tapi Akachan, Suzuchan, jam berapa tepatnya kalian diteror?” Mizuki tiba-tiba menyeletuk.

“Sekitar jam sembilan” “Sekitar jam setengah sepuluh” Aku dan Akane menyahut bersamaan.

“Ia di tempatku jam sembilan kurang.” kata Mizuki dengan wajah ketakutan yang tidak dibuat-buat.

“Terus?” tanyaku tak paham.

“Rumah kita lumayan jauh, lho. Bagaimana caranya ia berganti tempat secepat itu, dan bagaimana dia bisa masuk ke rumah kita?” jelas Akane.

Benar juga.

Kami semua pun terdiam—saling menatap satu sama lainnya.

“Lebih baik, kita jangan berpencar dulu. Bila orang ini merupakan penculik, maka ia tak akan berani melancarkan rencananya apabila kita bersama-sama di tempat yang ramai.” kata Mizuki menganalisa.

“Ya. Kalau begitu, sepulang sekolah kalian langsung ikut ke rumahku saja, kita pergi ke salon bersama untuk ke pesta. Lagipula restoran tempat pestanya dirayakan dekat dengan rumahku.” usul Akane.

“Oke, kalau begitu, kita ke rumah Akachan ya,” kata Mizuki berbarengan dengan bel tanda masuk sekolah.

“Ngomong-ngomong, di mana orang aneh itu?” tanya Akane sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.

“Akachan merindukan sahabat tercintanya!” goda Mizuki sambil memasang senyum yang sulit diartikan.

“Sial, kau.” dengus Akane sambil membuang muka.

Kami berdua terkekeh melihat tingkahnya.

Benar juga, hari ini Atsuko tak masuk, dan tanpa keterangan. Aku yakin kalau satu-satunya seragam yang ia punya telah kotor terkena lumpur kemarin, dan masih belum bisa bersih. Atau mungkin, ia malu menampakkan mukanya yang telah kami permalukan kemarin.

Apapun itu, untuk apa aku peduli?

***

Akane POV

Kami semua sudah sampai di restoran itu.

Keadaan masih sepi, namun aku yakin sebentar lagi akan ramai. Body guard sudah bersiap di depan restoran yang menjadi milikku selama satu malam ini. Masakan-masakan juga sudah siap sedia di sebuah meja panjang bertaplak putih lengkap dengan dessertnya

Ketika aku mengintip dari lantai atas, dapat kulihat teman-temanku mulai berdatangan membawa kado untukku.

Tomomi-nee akhirnya hadir juga.

Memang, aku sengaja tak membuat susunan acara untuk pestaku ini karena apabila aku melakukannya, pesta ini akan terasa seperti seminar yang membosankan, jadi mereka bebas melakukan apapun setelah memasuki penjaga didepan.

Aku juga telah mengundang band, MC, maupun DJ yang terkenal.

Semuanya sudah sempurna, saatnya berpesta!

Kedua MC pun mengumumkan bahwa aku akan segera hadir di tengah mereka. Aku segera bersiap menuruni tangga selebar dua meter yang berbentuk ulir itu dengan gaya seanggun mungkin.

Wajahku sudah dipoles, rambutku sudah ditata, aku pun sudah mengenakan gaun hitam yang sudah dirancang khusus untukku.

Aku akan bersinar malam ini.

Blar

Tiba-tiba seluruh  lampu mati. Alat-alat musik dari band yang kuundang itu juga seketika mati, membuat suasana yang tadinya meriah menjadi sunyi senyap.

“Hey! Aku tak membayar mahal untuk restoran dengan lampu yang rusak seperti ini!” pekikku kesal.

“Semuanya jangan panik! Sebentar lagi lampu akan menyala!” kata Mizuki berusaha menenangkan kerumunan yang sudah ribut sendiri.

Tiba-tiba lampu menyala lagi.

Tapi, bukannya semakin ribut dan meriah, semua orang malah diam seribu bahasa—mematung di tempat.

Tap… Tap… Tap…

Terdengar suara langkah kaki wanita yang tengah mengenakan heels dari kejauhan. Tak lama kemudian, masuk seorang gadis bertopeng oni yang berjalan membelah kerumunan ke arahku.

Bajunya biru pastel kusam, sepatunya pun tampak seperti sepatu usang yang sudah terlalu lama dipakai sehingga sebentar lagi mungkin bisa dimasukkan ke dalam museum. Rambutnya berantakan, dengan sebuah pita senada dengan gaunnya terikat di rambutnya.

“I-itu orang yang menerror kita!” teriak Suzume menyuarakan isi hatiku.

SECURITY!!!”teriakku sangat keras agar para satpam malas itu datang menangkap gadis gila ini.

“Tak perlu memanggil mereka, mereka sudah tertidur pulas sampai-sampai sekeras apapun suaramu tak akan menjangkau mereka.” kata gadis itu sambil mengangkat katana penuh darah dari balik tubuhnya.

“Lari!” pekik Mizuki sambil menarik lenganku menuju tangga untuk kembali  naik ke lantai atas dari restoran itu diikuti Suzume.

“Kenapa lari? Ini kan saatnya pesta. Party time!” katanya dengan nada aneh sambil menjentikkan jari-jarinya.

Seketika teman-teman di pestaku yang aku tahu sekali kalau mereka bersahabat, saling melukai satu sama lain dengan keji.

Aku dapat melihat Tomomi-nee diserang oleh ketiga temannya yang selalu mengikutinya. Yang satu mengacungkan garpu, yang satu lagi mengangkat kursi, sedangkan yang satunya memegang erat kaki Tomomi-nee sambil menggigitnya dengan ganas.

“Ah! Pergi, dasar gila!” pekiknya panik sambil menendang wajah temannya yang sedang mencakarnya itu.

Tapi, orang yang ditendang hingga berdarah itu sama sekali  tidak bereaksi.

Aku dapat melihat bekas gigitan di kaki Tomomi-nee mengeluarkan darah.

“Kalian kenapa, sih!” pekiknya sambil berlari keluar—berusaha mencari bantuan.

Jleb

Dapat kulihat dengan jelas si gadis bertopeng menusukkan katananya ke jantung Tomomi-nee, membuatnya langsung melotot dan memuntahkan darah.

Gadis bertopeng itu hanya membuang tubuh Tomomi-nee begitu saja dari katananya seakan ia hanya seonggok daging.

Ia menutup pintu keluar, lalu menguncinya rapat-rapat.

Dapat kulihat pasangan sahabat lainnya saling mencakar, menjambak dan menggigit hingga berdarah.

Tepat di tengah ruangan, berdiri Kobayashi-senpai yang juga sedang menghadapi sahabatnya yang tiba-tiba menggila. Ia terus memekik, berusaha menyadarkan sahabatnya yang sudah ia anggap saudara itu, tapi usahanya tidak berhasil.

Akhirnya ia mengambil stik drum dan menusukkanya pada mata sahabatnya, dan seketika itu juga sahabatnya tidak bergerak lagi.

Aku memekik pelan saat melihat kejadian itu.

Tapi kemudian pekikan itu berubah menjadi jeritan saat melihat gadis bertopeng menusukkan katananya pada Kobayashi-senpai, begitu juga pada anak-anak lainnya.

Pekikan, jeritan, tangisan putus asa menggema di telingaku. Bau anyir bercampur aduk dengan bau-bauan lain menusuk hidungku.

“Apa ini? Mengapa semuanya jadi seperti ini?” kataku sambil menggeleng tak percaya, berusaha menahan tangis.

“Entahlah, Akachan. Yang penting kita sembunyi dulu!” bisik Suzume sambil melepas heelsnya dan berlari mendahului kami mencari ruang untuk bersembunyi, kentara sekali ia menahan tangis.

Aku dan Suzune pun mengikuti tingkahnya.

“Di sini!” katanya kemudian menunujuk sebuah ruang kosong.

Kami bertiga segera masuk ke ruangan gelap itu untuk bersembunyi.

Suzune bersembunyi di dalam lemari yang berbau aneh, Mizuki bersembunyi di balik piano tua yang ditutupi kain. Dan aku bersembunyi di balik patung porselen.

Tap… Tap… Tap…

Langkah kaki mulai terdengar dari luar ruangan. Aku tak dapat melihat apa pun di sini karena semuanya gelap gulita. Namun, dapat kulihat bayangan langkah kaki melewati ruangan ini.

Syukurlah, ia melewatkan ruangan ini.

Hachoo

Tiba-tiba Suzune bersin dari dalam lemari.

Sialan kau Suzune!

Langkah itu pun langsung kembali dan membuka pintu. Kini terang masuk ke dalam ruangan.

Terlihat bayangan gadis itu masuk ke dalam ruangan. Ia berdiri di dekat pintu dan berhenti di sana sambil berusaha mendengarkan sekitar.

Beberapa saat kemudian, ia memilih untuk berjalan lurus hingga sampai di depanku.

Semoga dia tak melihatku semoga dia tak melihatku… Aku terus berdoa dalam hati.

Ia mengangkat tangannya, bersiap menebaskan katana ke arahku.

Tidak! Jangan, hampirilah Suzume saja yang membuat keberadaan kami kau lacak, bodoh!

Tiba-tiba ia berpaling, dan melangkah menuju lemari.

Tidak! Kenapa aku berdoa seperti itu, aku tak mau ia mati! Aku tarik kembali ucapanku, tolong! Kataku dalam hati.

Krieet

Ia membuka lemari dengan sangat dramatis dan akhirnya Suzune melompat keluar, menubruknya hingga jatuh.

“Aaaa… Toloong!!!” teriak Suzune sambil berlari keluar.

Namun terlambat, sebuah shuriken  telah dilemparkan dan menancap di kaki Suzune hingga berdarah.

Suzune tetap tak menyerah, ia terus memaksakan kakinya untuk melangkah  menjauh dari ruangan ini sambil merintih.

“Jangan sakiti dia, bodoh! Dia temanku!” pekik Mizuki sambil menendang kepala gadis bertopeng.

Kena!

Gadis itu terlontar ke samping, dan dapat kulihat Mizuki berhasil menuntun Suzune untuk lari menaiki tangga.

“Rasakan itu! Semua orang yang kena tendanganku di kepala bakal sekarat!” kata Mizuki sambil bergegas turun.

Aku pun segera keluar dari tempat persembunyianku, tapi aku langsung masuk kembali saat mendengar teriakan mereka berdua.

“Aah!” Suzune memekik sebelum sesuatu mencekik tenggorokannya.

“Pergi kau bangsat!” pekik Mizuki, lalu terdengar suara buk keras sekali lagi. “Beraninya kau…” Tangis Mizuki pecah.

Apa yang terjadi?

Kemudian aku dapat mendengar Mizuki menjerit menahan sakit. Ia mengerang sebelum terdengar buk sekali lagi, tapi kemudian suasana henimg.

Tap… Tap… Tap…

Suara langkah mengerikan itu kembali menimbulkan bunyi yang menggema di lantai dua.

Dia masih hidup? Artinya…

Aku dapat melihat gadis bertopeng itu mengintip ke dalam ruang tempatku bersembunyi. Ia berjalan bolak-balik mengitari ruangan, sampai akhirnya ia melihat ke balik tirai jendela yang ada di depanku.

Aku langsung mendorong patung tempatku bersembunyi untuk menjatuhkannya.

Ini kesempatanku!

Aku langsung lari keluar ruangan dan berlari menuju tangga.

Tepat di anak tangga keempat, dapat kulihat kedua sahabatku yang sudah kehilangan kepala mereka.

Aku menahan tangisku dan berlari turun ke bawah.

Lantai bawah benar-benar sudah berubah menjadi kolam darah. Karpet tebal yang menutupi ubin restoran kini penuh dengan warna merah. Ketika aku menginjakkan kaki telanjangku ke atasnya, darah keluar dari karpet tersebut.

Aku menahan rasa jijik dan terus melangkah.

Di kanan dan kiriku bertebaran mayat-mayat yang kukenali dalam keadaan mengerikan: usus terburai, mata keluar dari tempatnya, tubuh yang menekuk ganjil, kehilangan tangan atau anggota tubuh lainnya, benar-benar tampak mengerikan.

Aku segera berlari menuju pintu keluar sambil memejamkan mata.

Jleb

Tiba-tiba sesuatu menancap di kakiku.

Garpu.

Aku memekik sambil mencabut keluar garpu itu dari betisku, tapi si gadis bertopeng sudah ada di belakangku—menuruni tangga dengan gaya anggun sambil membawa katana.

Pandanganku pun beralih pada dua bliah pisau yang tertancap pada mayat di sampingku.

Tanpa ragu, aku mencabutnya dan mengacungkan pisau itu ke arah si gadis bertopeng. “Tunguu!!!” seruku. “Ini tak adil, siapa kau dan mengapa kau membunuh semua sahabatku!”

“Untuk membunuhmu dan sahabatmu, itu keinginan Atsuko yng telah kau khianati, bahkan kau coreng nama baiknya di depan umum.” katanya sambil berhenti di anak tangga terakhir.

“Lalu, apa salahnya mereka sampai kau bunuh? Para tamu-tamuku” aku mencoba membela diri.

“Aku tidak membunuh mereka. Itu semua karena masing-masing dari mereka melakukan pengkhianatan besar terhadap sahabat mereka sendiri yang tak dapat dimaafkan.” katanya tenang. “Itu keinginan terpendam mereka sendiri, Akane-chan.”

Dalam satu kedipan mata, tiba-tiba gadis itu sudah berdiri di depanku.

“Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau!?” bentakku mengacungkan pisau semakin tegak ke arah kepala dan dadanya dan mundur selangkah.

“Aku?” Ia membeo. “Perkenalkan, aku Stacy Rosemary, yang hari ini berulang tahun, dan yang kau buatkan pesta meriah seperti ini, arigatou gozaimasu.”

“Ini bukan pestamu, bodoh! Ini pestaku yang kau rusak! Lepaskan topengmu! Aku tak takut padamu!” hardikku agar ia membuka topeng.

“Secara teknis, ini memang pestamu. Namun, berkat pestamu ini, semua sahabat yang dihianati dan menghianati berkumpul, sehingga ini menjadi pesta pembunuhan—pesta ulang tahunku.” Sambungnya.

“Aku tak ingin dengar ceritamu! Buka topengmu, sekarang!” pekikku

“O iya, aku juga membawakanmu hadiah, ini dia,” katanya sambil menyerahkan kotak kado yang sama seperti yang kumasukkan ke dalam closet.

“Aku tak butuh!”

Namun ia bersikeras. Dibukanya kotak itu dan menggesernya di lantai hingga sampai ke bawah kakiku. Isinya boneka berdandanan Belanda jaman dahulu yang sudah berubah menjadi seram—tepat seperti bagaimana yang dideskripsikan Mizuki.

Aku menendangnya menjauh dan melotot ke arah gadis itu.

Happy birthday Akane and Stacy!” katanya sambil menancapkan katana yang ia bawa ditancapkan pada perutku.

“Kau curang.” kataku dengan susah payah sambil berusaha menahan katana yang terus berusaha ia masukkan ke dalam tubuhku.

“Ini hadiahmu yang lain. Terimalah!” pekiknya sambil mendorong katana itu hingga menembus tubuhku.

Dapat kurasakan sesuatu yang dingin seperti mengaduk-aduk isi perutku.

“Oh, iya! Aku punya hadiah yang ketiga.” Sambungnya. “Selamat, aku akan menuruti permintaan terakhirmu,”

Ia membuka topengnya.

Yokai! Mukanya begitu rusak sampai tak berbentuk lagi. Mulutnya terbelah hingga ke telinga, meninggalkan lubang menganga yang masih mengeluarkan darah segar. Matanya hitam total dan tak memancarkan kehidupan. Batang hidungnya menghilang, hanya ada dua buah lubang aneh di bagian hidungnya.

Spontan, aku langsung menusukkan pisau yang masih kubawa ke kedua bahunya.

Pisau itu menembus dengan rapi, tapi ia sama sekali tidak merasa kesakitan.

“Oh, itu tidak berfungsi untukku Akane-chan.” Ia menarik katana itu dari perutku, membuatku terlontar mundur menabrak pintu sambil memegangi perutku.

Aku berusaha memutar kunci pintu dan menekan  gagang pintu untuk membukanya, namun pintu itu tidak mau terbuka.

“Yang itu juga tidak akan berhasil, Akane-chan.” katanya lagi dengan gaya yang ia buat mirip seperti gaya bicara Atsuko.

“Selamat tinggal Akane. Seperti namamu yang berarti deep red, kau akan kurendam dengan darah hingga menjadi warna merah!” katanya sambil menggores kulit lenganku dengan pisau yang kugunakan untuk menusuknya.

“Kita mulai perlahan, ya.” katanya sambil terus memotong kulit luar tubuhku sambil menduduki perutku.

Perempuan ini gila! Ia menguliti tubuhku perlahan dengan amat teliti. Rasanya seluruh tubuhku perih dan sakit. Aku bahkan tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.

“Berhenti, tolong.” pintaku sambil menangis, tapi ia tidak menggubrisku.

Akhirnya aku hanya meracau sambil berusaha lepas darinya.

“Kau ini berisik sekali, ya.” katanya geram.

Tiba-tiba kurasakan tangannya yang dingin membuka mulutku dengan paksa. Ia menarik lidahku keluar dan memotongnya.

Aku menangis sejadi-jadinya, tapi karena tubuhku sudah melemah, hanya erangan kesakitan yang keluar dari mulutku.

Perlahan kepalaku mulai terasa sakit, sesakit tangan kananku yang kini sudah tidak berkulit.

“Selamat ulang tahun.” desisnya sebelum aku kehilangan kesadaran.

Leave a comment